Enam puluh tahun setelah Rasulullah hijrah, suasana Madinah bagaikan pemakaman hijau, kota yang tak berdenyut, begitu mencekam dan mengerikan. Revolusi Islam yang telah dibangun selama dua puluh tiga tahun oleh Muhammad bersama Muhajirin dan Anshor kini telah dihancurkan. Qur’an ditempatkan diatas ujung tombak Bani Umayyah. Ali bin Abi Tholib, seorang washi, khalifah, penerus risalah Nabi Muhammad dibunuh oleh seorang munafik yang paling dungu dan tolol. Al-Hasan putra pendiri Islam, kini duduk sendirian, tanpa senjata dan terasing dinegeri kelahirannya sendiri. Tangan-tangan kemunafikan, penghianatan dan jahiliyah baru telah masuk bahkan kerumahnya sendiri dengan memperalat istri yang tega meracunnya. Pemuda penghulu surga ini tak dapat dimakamkan ditempat yang ia hasratkan, yaitu disamping pusara kakeknya karena dihalang-halangi sejumlah orang yang membencinya, akhirnya jenazah dikubur dipemakaman umum.
Saat itu tak seorangpun berani mengeluarkan suara atas eksekusi Yazid bin Muawwiyah (Laknatullah alaihi abadan). Tiang gantung telah dipersiapkan, algojo-algojo berdarah dingin siap siaga memenggal leher siapa saja yang tidak berbai’at kepada Yazid, ulama-ulama bayaran disewa untuk mencuci darah kaum muslimin dengan hadits-hadits palsu, kaum mufasirin (ahli tafsir) disuap untuk menjustifikasi tindakan kejam mereka mengatasnamakan firman-firman Allah. Sebagian sahabat Nabi ada yang merangkak disudut mihrab, ingin menggapai surga dengan lari dari tanggung jawab social dan mengharap ridha Allah hanya dengan menggelindingkan butir-butir tasbih, ada juga yang secara terang-terangan menjual diri dan kehormatan mereka dengan berpihak ke istana hijau Muawiyah karena alasan perut.
Dipemakaman kota hijau Madinah yang sepi tak berdenyut bak kota mati, orang-orang yang membela kemurnian revolusi suci islam bersama keluarga Rasul, berakhir ditiang gantungan dan pedang yang mengenaskan. Mereka dicabik-cabik seperti daging yang dicincang. Diantara mereka adalah Abu Dzar yang meneriakkan protes terhadap berbagai macam penyelewengan, tewas tersayat-sayat di gurun Rabadzah, sementara Abdullah bin Mas’ud, Ammar bin Yasir, Maitsam, Hur bin Ady, yang memiawikkan slogan anti penindasan telah meraih kematian yang sangat cemerlang di Maraj al-Adzra, mereka dibantai dan dikubur hidup-hidup oleh rezim Muawiyah (Laknatullahi alaihi abadan)
Ancaman Yazid ini sampai ditelinga al-Husein. Pembunuh bayaran dan agen rahasia serta para antek-antek Yazid di sebar untuk minta baiy’at al-Husein dan keluarganya secara paksa, sehingga putra Ali bin Abi Tholib ini memutuskan pergi ke Makkah. Hari sabtu petang, tepatnya tanggal 28 Rajab 61 H, al-Husein beserta keluarga, wanita dan anak-anak serta beberapa sahabat setianya berangkat meninggalkan kota Madinah.
Sebelum mereka pergi, terjadi perpisahan yang sangat mengharukan antara al-Husein dengan adiknya Muhammad Ibn Hanafiyah.“Husein, seandainya engkau tidak melawan atau tidak menolak tekanan Yazid, kau tetaplah mulia dan sempurna. Masyrakat tetap memerlukanmu” tuturnya. Al-Husein menjawab: “Muhammad, ketahuilah aku hanya ingin menetap di Makkah, hanya itu. Namun jika keadaan tidak mengizinkan dan aku terdesak, maka aku akan mendaki gunung dan menetap di goa”. Setelah mereka bicar cukup panjang, al-Husein memeluk dan menepuk-nepuk pundak adiknya yang sedang sakit itu, kemudian naik keatas kudanya, “semoga Allah melindungimu” ucap Muhammad terbata-bata membiarkan air mata membasahi pipinya. “aku akan berziarah ke kakek untuk memohon pamit dan bermalam disisnya sebelum pergi” katanya seraya mulai menggerakkan tali kekang kudanya. Angin semilir berdesir menembus malam yang sepi, mengiringi langkah-langkah onta wanita ahlul bayt (keluarga suci rasul), ‘Selamat tinggal, Madinah! Seru mereka parau.
Belum sampai dipusara kakeknya, Al-Husein mendadak terjungkal, tak mampu mengendalikan jiwanya yang sangat rindu, ingin segera menyampaikan derita dan bencana yang menimpanya kepada kakeknya. Ia perlahan-lahan merapatkan dirinya lalu menciumi batu nisan Rasulullah sambil merintih. Zainab, Syahru, Banu dan para wanita ahlul baiyt berlari menuju masjid dan mendekap tanah suci pembaringan manusia teragung ini. Mereka melepas rindu merintih dan menyampaikan salam. Al-Husein mengucapkan salam kepada kakeknya: “Assalamu’alaika Ya Rasulallah, aku ini adalahal-Husein ibnu Fatimah, putra kesayangamu dan putra dari buah hatimu. Aku cucumu yang telah kau tinggalkan kepada ummatmu. Saksikanlah wahai Nabiyallah, mereka telah menghinaku, mengabaikan haqku dan tidak menjagaku sebagaimana engkau perintahkan. Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, serasa sebongkah batu menghimpit pundakku bila harus berpisah dengan mu, namun izinkan cucumu ini berada dekat disisimu karena mereka memaksaku untuk berbuat sesuatu yang tidak mungkin kulakukan. Tidak mungkin aku memberi bai’at kepada Yazid yang kufur, pemerkosa wanita dan penenggak khomer. Andai kuberikan bai’atku niscaya cucumu telah berbuat kekufuran, jika kutolak mereka pasti membunuhku disini, dikotamu wahai kakeku. Karena itulah restuilah kepergianku demi agamamu, keluarga dan ummatmu”. Inilah rintihan dan pengaduan al-Husein kepada Rasullullah. Ia menumpahkan kepedihan dan penderitaan yang dialaminya, dan disana pula ia menumpahkan air mata dukanya. Kemudian ia melakukan shalat, rukuk, dan sujud sepanjang malam, lalu berdo’a: “Ya Allah, ini adalah kubur nabi-Mu, Muhammad. Dan aku adalah anak dari putrinya, Fatimah. Engkau Maha tahu derita apa yang kini sedang menimpaku. Ya Allah, sungguh aku mencintai kebenaran dan benci pada kemungkaran. Aku memohon padaMu, wahai dzat yang memiliki keagungan, demi kubur ini dan demi haq penghuninya agar engkau pilihkan untukku jalan yang kau ridhai”
Tiba-tiba saja rasa kantuk menyerang al-Husein. Ia tergeletak tidur dan mimpi. Didalam tidurnya, ia melihat kakeknya rasulullah datang bersama serombongan malaikat. Dipeluknya al-Husein erat-erat kedadanya, lalu Nabi mencium diantara kedua matanya, lalu berkata: “Wahai Husein cucuku, sepertinya aku melihat bahwa sebentar lagi kau akan terbunuh dan disenbelih disebuah tempat yang bernama Karbala (karbun wa bala). Disana kau dikepung oleh sekumpulan ummatku, saat itu kau dalam kehausan dan tidak diberi minum. Tetapi mereka masih juga mengharap syafa’atku pada hari kiamat. Demi Allah kelak syafa’atku takkan pernahku berikan bagi mereka. Ketahuilah wahai anak putriku ayah, ibu dan kakakmu menyampaikan salam untukmu, kami semua sangat merindukanmu. Dan derajadmu yang paling tinggi tidak akan kau capai kecuali dengan syahadah.
Selama berada di Makkah, al Husein menerima sejumlah surat undangan dari warga Kuffah yang simpati yang berisi bai’at dan sumpah setia untuk mendukungnya melawan Yazid bin Muawiyah. Setiap hari surat mengalir berdatangan dan semakin banyka jumlahnya, akhirnya al- Husein mengutus saudara misannya, Muslim bin Aqil untuk mengecek kebenaran surat-surat tersebut dan mengamati daerah sekitar Kuffah. Kedatangan Muslim bin Aqil disambut meriah oleh penduduk Kuffah. Mereka berdesakan untuk menmeluk dan mencium tangan keponakan Ali bin Abi Tholib. Berita tentang kedatangan duta al-Husein ini menyebar cepat sekali dan menggoncangkan tiang-tiang raksasa istana gubernur Nu’man bin Basyir. Nu’man segera mengumpulkan warganya untuk untuk menyampaikan ancamannya. Ia telah menyiapkan tiga pilihan bagi setiap warganya yang mendukung al-Husein. Penjara, tiang gantungan atau kain kafan. Ancaman sang gubernur ini berhasil menggoyahkan tekad dan keteguhan rakyat Kuffah.
Gelagat pengkhianatan mulai terlukis pada wajah-wajah mereka. Bau kemunafikan dan kepengecutan mulai tercium dari mulut-mulut mereka. Hampir seluruh warga yang menulis surat dan menyatakan dukungannya terhadap al-Husein, kini berubah seratus delapan puluh derajad. Mereka berbalik menentang al-Husein. Hanya beberapa orang saja yang tetap pendirian mengikuti al Husein, seperti: Habib bin Mundzir, Hani bin Urwah, Sulaiman bin Shard, zuhair bin al-Qo’in, Mukhtar al-Tsaqofi dan Muslim bin Awsijah
Yazid bin Muawiyah segera mencopot Nu’man yang dianggapnya terlalu lemah menghadapi para pengikut al-Husein dengan Ubaidillah bin Ziyad seorang anak Marjanah (wanita pelacur Jahiliyah), pemabuk dan bengis. Kedatangan ibnu Ziyad itu menggemparkan kota Kuffah. Mereka dicekam rasa ketakutan yang sangat sehingga dikota itu sepi bagai pekuburan. Satu persatu pendukung Muslim bin Aqil berhasil diciduk oleh agen-agen Ibn Ziyad. Al-Mukhtar ditangkap, Hani bin Urwah dibunuh secara keji diistana anak pelacur itu, ia dibakar hidup-hidup, sementara Habib bin Mundzir, Muslim bin Awsijah dan sahabat yang lain telah berangkat ke Makkah untuk bergabung dengan al-Husein. Kini nasib Muslim bin Aqil betul-betul memilukan, ia sebatangkara setelah ditinggal pergi oleh para pendukungnya. Duta kebenaran al-Husein ini berjalan tertatih-tatih, keluar masuk lorong-lorong sepi Kuffah dibayangi incaran dan kejaran antek-antek Ibnu Ziyad. Akhirnya Muslim berhasil diperangkap oleh tipu daya yang sangat licik setelah bertempur mati-matian ia diseret ke istana, lalu digusur menyusuri anak-anak tangga menara kemudian dilempar dari atap istana. Praaa..k bunyi tubuh Muslim terpelanting jatuh dipelataran, darah segar mengucur deras dan tulang-tulang remuk serta usus terburai keluar dari peustnya. Sementara dibawah telah siap pedang-pedang algojo utusan Ziyad berebut untuk memisahkan kepala Muslim daari tubuhnya yang sedang sekarat. Inna lillah, wainna ilaihi raaji’un.
Terputusnya berita dari Muslim bin Aqil mendorong Al-Husein segera berangkat ke Irak, Ia bahkan tidak sempat menyelesaikan thawafnya setelah mendengar kematian Hani dan Muslim. Sebelum pergi ia menyampaikan khutbah yang cukup panjang didepan kaum muslimin yang sedang melakukan ibadah haji. Al-Husein mengecam sikap umat kakeknya atas kepengecutan, kebisuan, dan ketundukan mereka pada Yazid bin Muawwiyah. “Hai kalian yang berthawaf ! kalian tetap mengelilingi Ka’bah yang diam. Sedangkan Ka’bah yang berjalan kau biarkan (Al-Husein). Sungguh kalian tak ubahnya seperti mengelilingi berhala”. Demikian kecaman Al-Husein berapi-api. Ibnu Zuber dan Abdullah ibnu Umar berusaha mencegah Al-Husein agar tidak meninggalkan Mekkah. Ibnu Abbas yang sudah sangat tua tidak kuasa menahan tangisnya saat melepas pergi rombongan cucu Rasulullah SAW tersebut.
Pada tanggal 8 Dzulhijjah, rombongan kecil keluarga Nabi meninggalkan Masjid Al Haram, kota kelahiran ayah, ibu dan kakeknya. Rombongan Ahlul Bayt bergerak menuju menembus badai debu dan padang pasir, menyusuri sahara gersang dan mengikis ilalang dengan langkah-langkah memelaskan. Irama kesyahidan mengalir mengiang-ngiang di relung sanubari mereka. Didusun bernama ats-Tsalabiyah kafilah Al-Husein berhenti karena dihadang oleh pasukan Ibn ziyad yang dipimpin oleh Al-Hurr ar Riyahi.
Telapak kaki Husein dan rombongan kembali memahat padang ilalang. Pandangan matanya menyapu bukit-bukit batu terjal didepannya. Tiba-tiba kuda putih tunggangannya berhenti, enggan melanjutkan jalannya. Ia mencoba sampai kuda ketujuh, namun tak jua berhasil. “Apa nama tempat ini?” Tanya Al-Husein “Al-Ghodiriyah” jawab mereka. “apa nama kedua bagi daerah ini?” tanyanya lagi sambil menatap tanah, “Nainawa”, sahut mereka. “adakah nama lain dari tempat ini?” desak Al-Husein, seakan tak percaya. “Syathi’ul farat dan Karbala” jawab salah seorang dari mereka. “Inna Lillah wainna ilaihi Raaji’un”, gumam Husein.ia menarik nafas dalam-dalam. “Inilah Karb (kebun) dan bala (bencana). Dibumi tandus inilah tangisan dan erangan gadis-gadis Ali disambut tawa. Disinilah jerit parau putri-putri Muhammad akan membumbung menembus angkasa. Disilah kemah-kemah keluargaku akan hangus dibakar. Disinilah kebenaran dan para pendambanya akan tersungkur dibawah kaki para pemerkosa nurani. Disinilah cawan-cawan merah madu surgawi akan dibagi-bagikan. Disinilah aku bersua dengan Muhammad. Benarlah kata kakekku yang telah menjanjikan kematian indah untukku di sini. Di sinilah aku akan dikunjungi. Turunlah dan dirikan tenda!” pekik Al-Husein berapi-api.
Mendengar ucapan Al-Husein yang mengharukan, Zainab berlari dan menjerit pilu. Oh, seandainya kematian dating menyambarku, biarlah maut merenggutku agar aku tyak turut menyaksikan semua kepedihan ini. Al-Husein mengusap wajah sembab adiknya, menuntunnya kedalam kemah dan menenangkannnya. Sementara jauh disana, di istana, Ubaidillah mengumuman sayembara bagi siapa yang berhasil menghadiahkan kepal Husein maka ia akan menjadi pemilik kota Ray selama sepuluh tahun. Umar yang dipimpin oleh Al-Hurr ar Riyahi.
Mendengar ucapan Al-Husein yang mengharukan, Zainab berlari dan menjerit pilu. Oh, seandainya kematian dating menyambarku, biarlah maut merenggutku agar aku tyak turut menyaksikan semua kepedihan ini. Al-Husein mengusap wajah sembab adiknya, menuntunnya kedalam kemah dan menenangkannnya. Sementara jauh disana, di istana, Ubaidillah mengumuman sayembara bagi siapa yang berhasil menghadiahkan kepal Husein maka ia akan menjadi pemilik kota Ray selama sepuluh tahun. Umar anak seorang sahabat Nabi yaitu Sa’ad bin Abi Waqos menerima tawaran itu. Kedatangan pasukan Umar bin Sa’ad melumpuhkan kekuatan pasukan al-Husein, karena mereka memblokir satu-satunya sumber kekuatan bagi pasukannya, yaitu sungai Furat. Dalam setiap kesempatan, Al-Husein berusaha mengingatkan dan menyadarkan pasukan musuh.ia meyakinkan mereka dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi bahwa ia adalah pusaka yang ditinggalkan kakeknya Muhammad kepada kaum Muslimin. Al-Husein menyatakan pada mereka bahwa ia adalah putra Ali bin Abi Tholib, orang yang paling zuhud, penerus risalah Nabi. Ia adalah putera Fatimah az-Zahra putri kesayangan, belahan jiwa Nabi dan penghulu wanita ahli surga. Ia mengatakan bahwa Al-Hasan , kakaknya adalah penghulu pemuda surga. Namun dasar hati mereka yang telah dikuasai iblis, jiwanya tertutup api dendam dan kebencian, kata-kata Husein ini tidak banyak berpengaruh bai mereka. Hanya seorang ayah, Al-Hurr ar-Riyahi bersama anaknya yang insyaf dan tersentuh hatinya lalu kemudian bergabung dengan cucu Rasulullah setelah mendapat ampunan dari Al-Husein.
Sepuluh Muharram 61 H, fajar menyingsing. Dua kekuatan, front kebenaran dan kebatilan siap bertempur. Irama syahdah semakin kencang terdengar. Pembantaian putra-putri terbaik rasulullah kini telah dimulai. Pesta perburuan gadis-gadis Fathimah dilakukan. Genderang perang yang tak seimbang telah dibunyikan. Kabut bencana dan duka cita berputar-putar menutupi bilik-bilik kenabian yang selalu menjadi tempat persinggahan para malaikat
Siang itu matahari mulai memanas, pasukan Al-Husein yang berjumlah tujuh puluh dua orang dikepung oleh tiga puluh ribu tentara Ziyad yang bersenjata lengkap. Teriakan Allahu Akbar! membana dari pasukan Husein ketika perang dimulai. Satu persatu sahabat-sahabat setia Husein berguguran dimedan tempur. Habib bin Mudzahir, Muslim bin Awsijah, Zuhair bin Al-Qoim, Yahya bin Katsir al-Anshari, Nafi bin Hilal, Burair bin Hudhair, Al-Ma’la dan lain-lainnya, mereka semua telah dibantai dan meraih kematian yang paling indah, menjadi syuhada diatas altar suci yang dihamparkan Husein.
Kemah-kemah keluarga Husein mulai dibakar. Ia mendengar jerit tangis wanita-wanita dan anak-anak ahlul bayt karena haus telah mencekik leher mereka. Al-Husein memerintahkan kepada adiknya, Al-abbas untuk mencari air. Al-Abbas melesat dengan kudanya ke sungai Furat, menerobos pasukan musuh yang padat. Ratusan tombak, panah dan pedang memburunya dari berbagai penjuru. Abbas berhasil mencapai tepian sungai, ia mencelupkan jarinya kedalam air yang dingin dan menyegarkan, seketika ia teringat wajah Al-Husein yang lusuh lalu terdengar jerit Sukainah, Zainab dan keponakan-keponakannya yang masih kecil. Ia memuncratkan kembali air sejuk yang hampir menyentuh bibir keringnya. “Tidak layak aku minum air ini, sementara haus mencekik kakakku, Husein”. Abbas lalu mengisi kirbah ( kantong air )nya denga satu tekad ingin mempersembahkannya kepada Husein. Tiba-tiba seorang pengecut, Abras bin Syiban menyerangnya dari belakang. Tangan kanan Abbas terpental lepas dari persendiannya. Darah segar memancar dan membasahi tubuhnya. Ia memainkan pedangnya dengan tangan kirinya ditengah derasnya hujan anak panah. Sebuah tongkat menghantam kepalanya dari belakang dan membuatnya rengkah, seketika ia roboh sambil menangis tersedu. Abbas menangis bukan karena luka-luka parah ditubuhnya, tapi menangis karena gagal mengantar air untuk Al Husein. “Alaika minni salaam, Ya Aba Abdillah” gumam Abbas parau sebelum sebelum ruhnya yang suci terbang ke haribaan Ilahi. Inna Lillahi wa inna ilaihi raaji’un.
Husein meneteskan air mata haru saat menyaksikan kemenakan-kemenakannya dan saudara-saudara misannya mohon untuk tampil. Abdullah putra Muslim bin Aqil, Aun bin Abdillah (cucu Ja’far ath-Thayar), Musa bin Aqil misannya, dan Ahmad bin Muhammad al Hasyimi, mereka adalah remaja-remaja Ahlul Bayt dengan segala kegigihannya telah menyambut syahadah denga senyuman. Inna Lillahi wa inna ilaihi raaji’un. Diantara jasad-jasad para pengikutnya yang berserakan, Husein berteriak “Oh,… betapa asing! Masih adakah orang yang menolongku, hal min naasirin yasruni?
Husein terperangah ketika melihat dua remaja tampan bercahaya bak menyeruak dari dalam kemah, lalu menghampirinya. Mereka adalah Ahmad dan Qosim putra kakaknya, Hasan bin Ali bin Abi Tholib. “Kami datang menyambut panggilanmu, wahai paman”! Ucap mereka sigap. Huesin melepas kedua kemenakannya itu dengan linangan air mata. Al Qosim yang baru berumur 14 tahun melarikan kudanya bagaikan baying-bayang, kemudian kakaknya Ahmad menyusul menerjang barisan pasukan Umar bin sa’ad. Mereka berhasil menjatuhkan puluhan musuh lalu gugur sebagai syahid ditengah luncuran anak panah yang diarahkan ke tubuhnya. Inna Lillahi wa inna ilaihi raaji’un
Kini giliran Ali Akbar untuk maju. Melihat puteranya yang paling besar ini, Husein terisak menangis. Ia memeluk erat putra kesangannya, lalu berdo’a: Ya Allah saksikanlah! Betapa tega dan kejamnya kaum ini. Muncul dihadapan mereka seorang anak muda yang wajah, akhlak dan tutur katanya paling menyerupai Nabimu. Bahkan ketika kami rindu pada Rasul-Mu kami memandanginya wajah anak ini. “Ya Allah haramkan bagi mereka keberkahan perut bumi ini. Mereka telah mengundang kami dan berjanji untuk membela kami, namun kini tiba-tiba saja mereka memusuhi dan menyerang kami” Laksana sebatang anak panah yang lepas dari busurnya, Ali Al-Akbar melesat ke tengah pertempuran. Ia melepaskan pedangnya ke kiri dan ke kanan mengarahkan setiap musuh yang menghadangnya. Ketangkasannya mengingatkan orang akan keperkasaan datuknya, Ali bin Abi Tholib, sang Haydar yang menaklukkan Khaibar. Ali Akbar menggemparkan ribuan lawan. Ia berhasil menjatuhkan 180 penunggang kuda. Dengan nafas yang tersengal dan kehausan, Ali Akbar datang keharibaan Ayahnya. Ya abatah, wahai ayah ! Haus telah mencekikku, besi telah menghimpitku. Adakah sedikit air untuk kekuatanku? Sang ayah memeluk putra kesayangan, lalu ia berikan cincinnya untuk dikecup mulut Ali Akbar yang menjulur kehausan.”Wa Gutsah, wahai anakku!” kamu akan segera menemui kakekmu yang akan memberimu minum, kau tidak akan haus lagi selamanya, sabran,...sabaran,…ya bunayya. Seorang manusia durjana membokong Ali Akbar dari belakang dan memecahkan kepalanya. Ali bergantung pada tali kekang kudanya, berharap akan menemui ayahnya. Namun kuda itu membawa ketengah-tengah musuh, mereka mencabik-cabik tubuh beliau hingga mengenaskan. Ali Akbar memanggil-manggil ayahnya dengan jeritan terakhir yang menyayat hati: “Alaika minni as-salam, ya Aba Abdillah! Disini kakekku Rasulullah memberiku minum. Aku tidak akan haus lagi selamanya” Husein memburu puteranya, merangkul dan menciumi wajah Ali Akbar yang bersimbah darah. “Semoga Allah membinasakan kaum yang telah membunuhmu, wahai putraku! Apalah artinya dunia ini setelah kepergianmu” bisik Husein. Inna Lillahi wa inna ilaihi raaji’un. Bunga-bunga Ahlul Bayt satu-persatu berguguran dalam kebeliaannya. Membasuh persada Karbala dengan darah segar mereka. Tangisan putra-putri Muhammad kian membana diangkasa Nainawa mengantarkan jeritan terakhir Ali Akbar. Tiba-tiba seorang wanita muda dari arah kemah berlari memburu jasad remaja yang terkapar itu seraya berteriak lantang “Oh,….betapa asing dan sendirian. Andai saja aku buta hingga tak menyaksikan kekejaman kaum durjana? Mengapa bumi telah berubah menjadi hutan, dan manusia menjadi binatang?” Zainab terhuyung merangkul dan menggoyang-gayangkan kemenakannya yang telah tak bernyawa lagi. Husein menarik tangan adik perempuannya yang hampir pingsan, lalu menuntunnya kembali ke tenda kemah itu.
Nurani seorang ayah tersentuh, saat Zainab memberitahu bahwa Ali Al-Asghor putra bungsu Al Ahusein yang baru berumur 6 bulan sudah beberapa hari bibirnya yang kecil tidak sedikitpun tersentuh air. Al Husein menggendong bayinya menghadap musuh untuk memintakan setetes air bagi Al-Asghor. Belum selesai Husein berkata, sebatang anak panah melesat menmbus tepat pada tenggorokan Ali Al-Asghor. Bayi itu hanya menggelepar-gelepar sebentar, darah segar itu memancar dan membasahi pangkuan ayahnya. Al Husein tertegun seakan tak percaya menyaksikan kebiadaban manusia-manusia terkutuk pasukan Umar bin Sa’ad. Ia mengumpulkan tetesan darah bayinya, kemudian melemparkan kelangit sambil berseru: “Ya Allah semuanya ini kecil disisi-Mu”
Senja 10 Muharam di Karbala, Al Husein benar-benar tinggal sendirian. Suaranya tak lagi lantang, air matanya sudah terkuras, dadanya sesak menahannafas, kerongkongan kering dan panas. Ia memandangi kemah putri-putri Rasulullah, lalu melangkahkan kakinya kesana. Dengan suara yang parau dan terbata-bata, ia menyampaikan salam kepada mereka, kemudian memanggil satu-persatu putri-putri Ahlul Bayt Alaihis Salam.
Kemarilah Zaenab, Ummu Kultsum, Sukainah, Roqoyyah, Atikah, Shafiyyah, dan istri-istriku! Salam dariku, abangmu, pamanmu, dan suamimu untuk kalian semua. Inilah pertemuan terakhir kita. Inilah detik-detik terakhir kebersamaan kita. Sedang pesta tangis dan duka akan segera dimulai. Bersiap-siaplah untuk memasukinya. Sakinah yang kecil mendekap erat tubuh ayahnya itu. “Wahai ayah, apakah salammu ini pertanda bahwa kau akan meninggalkan kami? Apakah ini tanda perpisahan dengan kami?” Husein memeluk putrinya yang mungil seraya berbisik “ Wahai putriku Sukainah!, apakah mungkin maut tidak akan menjemput orang yang kini sendirian? Bersabarlah wahai putriku, usaplah air matamu. Bersabarlah kau akan lebih banyak lagi menangis setelah kematianku. Tolong jangan bakar hati ini sebelum ruh meninggalkan jasadku ini. Kelak setelah aku gugur, menangis dan menangislah wahai putriku! Al Husein memeluk adik-adik perempuannya. Ia merangkul Zaenab,Ummu Kultsum, lalu mencium mata sembab Sukainah. Terakhir ia memeluk satu-satunya putra Husein yang tersisa, Ali zainal Abidin as-Sajjad yang terbaring karena sakit. Usai pamit kepada seluruh keluarga tercintanya, Husein memacu kuda putihnya ke medan perang.
Kedatangan Husein ke medan perang, disambut oleh hamburan 4000 anak panah atas perintah Umar bin Sa’ad. Dengan gagahnya ia masih berdiri walau sebagian anak panah manancapi tubuhnya. Dalam keadaan haus dan letih, Husein duduk sejenak, namun tiba-tiba sebuah batu menghantam dahinya dan sebatang anak panah beracun menembus jantungnya sampai kepunggungnya. Dahi yang biasa digunakannya untuk bersujud kepada Allah, kini tersungkur di atas pasir Karbala. Wajah yang memancarkan cahaya kebenaran kini basah berlumuran darah. Ia mengangkat tangannya kelangit seraya berdoa: “Ya Allah, Engkau tahu apa yang telah menimpaku, dari hamba-hambaMu yang durhaka”. Husein mencabut anak panah dari kuduknya, ia menyaruk darah yang memancar seperti pancuran lalu ia lumuri seluruh wajah dan janggutnya. “Bismillahi, wa billahi wa ‘ala millati Rasulillah. Aku ingin menghadap Allah dan kakekku dengan wajah bersimbah darah seperti ini.”
Tubuh suci cucu Muhammad Rasulullah kini menjadi bulan-bulanan ribuan binatang terkutuk Ibnu Sa’ad. Ada yang menusukkan tombak ke leher, dada dan pinggangya, ada yang mencacah bagian tubuhnya dengan pedang, ada yang menginjak-nginjak jasadnya dengan kuda. Ada yang memukuli dengan kepala dan punggungnya dengan besi dan ada yang merampas serban, pedang, cincin dan baju perang yang dikenakan Husein. Sungguh kekejaman dan kebiadaban yang dahsyat telah menimpa cucu tercinta Rasulullah. Namun bibir mulia itu masih mengucapkan dzikir : “ Shabran ‘ala ghodaik, la ilaha siwak, Ya Ghaiyatsal mustaghitsin, ma li robbun siwak wa laa ma’budun ghairuk. Shabran ‘ala hukmik, Ya Ghiyatsa man ghiyatsalah” Kini datanglah Syimr bin Dil-Zausyan (Laknatullahi Alaihi Abadan) si dajjal terkutuk, ia menghampiri Al Husein lalu memenggal kepala suci putra Ali Bin Abi Tholib, kepala yang sering dipeluk dan dicium Rasul itu kini menggelinding diatas tanah Karbala, darah segar memancar dan tercecer membasahi sahara gersang Nainawa. Tetapi wajah itu masih dihias senyum surgawi dan bibirnya senantiasa melantunkan kalimat-kalimat ilahi. Pasukan ibnu Sa’ad berpesta-pora berebut untuk mencincang jasad tak bernyawa putra Fatimah Azzahra. Inna Lillahi wa inna ilaihi raaji’un. Untuk kesekian kalinya Muhammad dibunuh oleh ummat Muhammad.sendiri yang mengharap syafaat beliau dipengadilan Tuhan. Sungguh tidak diberikan syafaat bagi mereka pembantai dan mengingkarinya dari perintah mengikuti dan mencintai Nabi dan keluarganya.
Al Husein telah mempersembahkan seluruh jiwa raganya, keluarga dan sahabat-sahabat terbaiknya demi tegaknya Islam Muhammadi yang hakiki. Untuk membuka topeng dan mahkota iblis Bani Umayyah yang dikenakan oleh Yazid bin Muawwiyah. Untuk menyingkap borok para ulama palsu yang mereka sembunyikan dibalik jubah-jubah kesucian mereka. Untuk menghidupkan kembali slogan agama tauhid, slogan kebenaran, kemerdekaan, keadilan keberanian, kesabaran, pengorbanan dan kesetiaan. Untuk mengajarkan nilai-nilai universal hak asasi manusia yang menentang segala bentuk penindasan, kejahatan, kesombongan, keserakahan, kezaliman, kemunafikan dan kesewenang-wenangan serta angkara murka dibumi ini. Al Husein bin Ali bin Abi Tholib adalah simbol kebenaran yang abadi.
Referensi:
1. Prahara di Nainawa, Muhsin Labib (Yayasan Ulul Albab Aceh, cet 1)
2. Duka Padang Karbala Sayiid ibn Thawus (Yayasan Imam Ali –Iran, 1420 H/ 1999 M)
3. Risalah asyura, Jalaludin Rakhmat & Husein Syahab
4. Syahadah, Ali Syari’ati (YAPI, cet 1, 1407 H/1987 M)
0 comments:
Post a Comment