Home » » Gunung Krakatau (meledak Dahsyat 27 Agustus 1883)

Gunung Krakatau (meledak Dahsyat 27 Agustus 1883)

Written By Unknown on Saturday, February 15, 2014 | 9:08 AM

 
Liputan6.com, Selat Sunda : Hari ini, 130 tahun lalu, Selat Sunda bak neraka. Gunung Krakatau yang tidur panjang selama 200 tahun menggeliat. Ia tak sekadar meletus, melainkan meledakkan diri hingga hancur berkeping-keping.

Puncaknya terjadi Senin, 27 Agustus 1883, tepat pukul 10.20, Krakatau meletus dahsyat. Kekuatannya setara 150 megaton TNT, lebih 10.000 kali kekuatan bom atom yang meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki di Jepang. Melenyapkan pulau dan memicu dua tsunami, dengan tinggi 40 meter, menewaskan lebih dari 35 ribu orang. Itu versi resmi.
Sejumlah laporan menyebut, korban mencapai 120 ribu. Kerangka-kerangka manusia ditemukan mengambang di Samudera Hindia hingga pantai timur Afrika sampai satu tahun setelah letusan.
Suara ledakan dan gemuruh letusan Krakatau terdengar sampai radius lebih dari 4.600 km hingga terdengar sepanjang Samudera Hindia, dari Pulau Rodriguez dan Sri Lanka di barat, hingga ke Australia di timur.
Letusan tersebut masih tercatat sebagai suara letusan paling keras yang pernah terdengar di muka bumi. Siapapun yang berada dalam radius 10 kilometer niscaya menjadi tuli. The Guiness Book of Records mencatat bunyi ledakan Krakatau sebagai bunyi paling hebat yang terekam dalam sejarah.
"Akibatnya tak hanya melenyapkan sebuah pulau beserta orang-orangnya, melainkan membuat mandeg perekonomian kolonial yang berusia berabad-abad," demikian ungkap Simon Winchester, penulis buku Krakatoa: The Day the World Exploded, August 27, 1883.
Letusan Krakatau juga menciptakan fenomena angkasa. Lewat abu vulkaniknya. Abu yang muncrat ke angkasa, membuat Bulan berwarna biru.
Pasca letusan tersebut, Krakatau hancur sama sekali. Mulai pada 1927 atau kurang lebih 40 tahun setelah meletusnya Gunung Krakatau, muncul gunung api yang dikenal sebagai Anak Krakatau. Ia sangat aktif dan terus bertumbuh. Akankah ia akan meletus seperti induknya? Tak ada yang tahu.
Anak Krakatau adalah satu dari 100 gunung berapi yang terus dipantau NASA melalui satelit Earth Observing-1 atau EO-1.
Ada dua alasan yang membuat NASA terus mengamati Anak Krakatau. Selain karena terus-menerus bererupsi, ini juga dilatarbelakangi faktor historis. (Ein/Yus)
 




Cerita 2


 
Merdeka.com - 27 Agustus 1883, 130 tahun yang lalu, sebuah ledakan dahsyat terjadi di Selat Sunda antara Pulau Jawa dan Sumatera. Gunung Krakatau meletus, membuat seluruh dunia terbelalak. Awan panas dan tsunami akibat letusan Krakatau menyebabkan 36 ribu orang tewas.

Letusan mahadahsyat itu meluluhlantakkan kawasan pantai Barat Jawa terutama karena gelombang tsunami sangat tinggi. Amukan tsunami juga merusakkan kawasan pantai di Kalianda maupun Teluk Betung, Bandarlampung. Menarik juga menengok apa yang terjadi di Batavia (Jakarta) saat letusan besar itu terjadi. Batavia, saat itu sudah menjadi pusat kekuasaan penjajah Belanda.

Menurut Simon Winchester dalam buku terkenalnya, Krakatoa, The Day The World Explode, yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, situasi mencekam juga terjadi di Jakarta. Batavia berjarak 133 km dari pusat letusan jika ditarik garis lurus. Pada saat letusan itu, Hari Senin 27 Agustus 1883, ombak tinggi juga sampai ke Batavia. Ombak datang pukul 12.36 atau 2,5 jam setelah letusan.

Ombak tinggi juga masuk ke kanal-kanal air Batavia yang saat itu tertata rapi. Pedagang dan penduduk setempat berlarian menyelamatkan diri. Yang mengherankan, hari itu cuaca sangat dingin. Langit setengah gelap dan muram meskipun siang hari. Wajar karena langit Batavia tertutup jutaan ton debu letusan Krakatau. Udara penuh dengan abu yang menyusup ke rambut, mata dan gigi setiap orang. Trem-trem penuh dengan orang yang berangkat kerja. Kereta kuda memenuhi alun-alun raksasa sekarang Monas. Semua orang memperbincangkan musibah besar yang baru terjadi.

Dilaporkan, ombak tsunami di Batavia saat itu mencapai ketinggian sekitar 2 meter menyapu garis pantai. Beberapa saat kemudian, permukaan laut anjlok sekitar tiga meter dari normal kemudian naik lagi dengan tajam. Baru pada pukul 17.05 riak dan ombak tinggi menghilang. Selasa keesokan harinya, atau 28 Agustus persis 130 tahun lalu, air menjadi tenang. Korban dilaporkan berjatuhan terutama di kawasan pantai meski tidak ada data resmi.

Satu catatan di Batavia yang masih disimpan sebagai sejarah penting letusan adalah tekanan udara tak kasat mata yang mempengaruhi meteran gas di pabrik gas Batavia. Catatan pada meteran itu sampai sekarang masih digunakan para ilmuwan untuk mempelajari letusan itu.

Meteran gas itu memberikan catatan akurat menit demi menit tentang gelombang tekanan udara besar-besaran yang dipancarkan Krakatau saat meledak. Ledakan yang paling besar tercatat terjadi pada pukul 10.02. Ledakan itu mengakibatkan lonjakan merkuri lebih dari dua setengah inci, suatu kondisi yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

Pada pukul 17.00 suasana gelap pekat melanda ibu kota. Pada waktu itu butiran-butiran besar batu apung berjatuhan. Keadaan begitu mencekam hingga pagi datang keesokan harinya ketika situasi tidak segenting hari letusan. Itulah sekilas suasana Batavia saat hari bersejarah itu. Letusan Krakatau dan gelombang tsunami menghancurkan 165 desa sementara 36.147 dilaporkan tewas dan ribuan lain luka-luka.

Cerita 3



Gaduhlah orang di dalam negeri
Mengatakan datang kapalnya api
Lalu berjalan berperi-peri
Nyatalah Rakata empunya bunyi
.......
Riuh bunyi di dalam perahunya
Bersahutan sama sendirinya
Seperti kiamat rupa bunyinya
Ramailah orang datang melihatnya
Demikian petikan transliterasi Inilah Syair Lampung Karam Adanya karangan Muhammad Saleh bait ke-14 dan 16. Syair ini dikumpulan oleh Suryadi dan diterbitkan dalam Syair Lampung Karam, Sebuah Dokumen Pribumi Tentang Dahsyatnya Letusan Krakatau 1883.
Gunung Krakatau (disebut Rakata dalam syair ini) meletus hebat pada 27 Agustus 1883. Nyaris semua catatan kajian ilmiah dan bibliografinya dilaporkan oleh orang asing. Tidak ada kesaksian pribumi yang ada di sekitarnya.
Sampai akhirnya ditemukan sumber tertulis pribumi yang terbit di Singapura dalam bentuk cetak batu (litografi) tahun 1883/1884. Kolofonnya mencatat 1301 Hijriah (November 1883 - Oktober 1884) dengan edisi pertama berjudul Syair Negeri Lampung yang Dinaiki oleh Air dan Hujan Abu.
Hingga muncul edisi keempat yang berjudul Inilah Syair Lampung Karam Adanya, bertarikh 10 Safar 1306 H (16 Okotober 1888). Muhammad Saleh sebagai pengarang menjelaskan kehancuran desa-desa dan kematian massal akibat letusan 27 Agustus 1883.
Daerah macam Kitambang, Talang, Lampasing, Badak, Limau, hingga Merak, luluh lantak dilanda tsunami (yang dilaporkan hingga setinggi 40 meter), lumpur, hujan abu, dan batu. Betapa memilukan dan kacau situasinya saat itu. Tapi tidak sedikit yang memanfaatkan kesempatan untuk mengambil harta benda orang lain.
Dalam bait kesebelas syair itu, diceritakan bahwa aktivitas gunung dimulai sejak tiga bulan sebelumnya. "Terjadilah letusan yang amat dahsyat...gumpalan abu menyembur ke udara setinggi 70 kilometer, dibarengi dengan tsunami. Ombak setinggi 40 meter menyapu habis pantai sebelah Sumatra dan Jawa di kawasan selat Sunda," demikian penggambaran Suryadi yang sejumlah penelitiannya telah dimuat di berbagai jurnal internasional.
Dalam dua bait terakhir syair ini, ungkap Suryadi, pengarang si Muhammad Saleh mengaku sakit, sedih, dan sengsara karena bencana itu. Pikiran dan perasaanya tersiksa. Akibatnya ia merasa sekarat dan hampir meninggal. 'Hati di dalam sangat siksanya...terkena demam hampir matinya,'
Namun, diingatkan bahwa bisa juga penggambaran ini dilebih-lebihkan karena adanya ruang untuk berimajinasi. Meski demikian, si pengarang nampak menggambarkan semua ini dari mata batin dan pikirannya sendiri.

Kesaksian warga asing
Kengerian letusan Gunung Krakatau juga datang dari salah satu penumpang kapal Loudon yang lepas jangkar di Teluk Lampung. Ia merasakan gelombang perdana yang datang pasca-letusan.
"Kapal [Loudon] bertemu dengan kepala gelombang, Loudon terangkat dengan kecepatan yang memusingkan," kenang penyintas yang tidak disebutkan namanya itu.
Pejabat Hindia Belanda memperkirakan korban tewas 36.417 orang, 90 persen di antaranya karena tsunami. Berbulan-bulan kemudian, Selat Sunda dipenuhi dengan batu apung tebal dan mayat-mayat. Menurut kesaksian pejalan yang mengunjungi wilayah itu dua pekan setelah letusan, masih banyak mayat manusia dan hewan yang menanti dikubur dengan bau yang tidak bisa digambarkan.
Badan Geologi Amerika Serikat menyebut bahwa erupsi pada 1883 merupakan contoh klasik pembentukan kaldera. Letusan ini juga menjadi contoh sempurna dari erupsi yang menimbulkan tsunami --yang gelombang terjauhnya dilaporkan hingga ke Semenanjung Arab.  http://nationalgeographic.co.id


Share this article :

0 comments:

Post a Comment

Bro Comment :

follower facebook

tweet

Polling:

Bagaimana Menurut Anda Blog ini?
Bagus0%
Lumayan0%
Kurang0%
Kurang sekali0%

ads

Isi Blog:

Powered By Blogger

Artikel:

People View

 
Support : http://belajarofficeizzat.blogspot.com | http://tutorbuatblogizzat.blogspot.com | http://aldebaranizzatd.blogspot.com/
Copyright © 2013. Serbaserbi - All Rights Reserved
Template added by Creating Website Publis Blog Mas Template
Proudly powered by Blogger