Kasus wanita berjilbab dari Wisma
Fatimah di Jl. Alex Kawilarang 63 Bandung Jawa Barat yang mengidap
penyakit kotor gonorhe (kencing nanah) akibat nikah mut'ah. Seperti
dilaporkan oleh LPPI yang berkasnya disampaikan ke Kejaksaan Agung dan
seluruh gubernur, mengutip ASA (Assabiqunal Awwalun) edisi 5, 1411H,
hal. 44-47 dengan judul “ Pasien Terakhir “, seperti yang dimuat buku
Mengapa Menolak Syi’ah halaman 270-273. Berikut ini kisah selengkapnya:
Untuk kedua kalinya wanita itu pergi ke
dokter Hanung, seorang dokter spesialis kulit dan kelamin dikota
Bandung. Sore itu ia datang sambil membawa hasil laboratorium seperti
yang diperintahkan dokter dua hari sebelumnya. Sudah beberapa Minggu dia
mengeluh merasa sakit pada waktu buang air kecil (drysuria) serta mengeluarkan cairan yang berlebihan dari vagina (vaginal discharge).
Sore itu suasana di rumah dokter penuh
dengan pasien. Seorang anak tampak menangis kesakitan karena luka
dikakinya, kayaknya dia menderita Pioderma. Disebelahnya duduk seorang
ibu yang sesekali menggaruk badannya karena gatal. Diujung kursi tampak
seorang remaja putri melamun, merenungkan acne vulgaris (jerawat) yang
ia alami.
Ketika wanita itu datang ia mendapat
nomor terakhir. Ditunggunya satu persatu pasien berobat sampai tiba
gilirannya. Ketika gilirannya tiba, dengan mengucapkan salam dia
memasuki kamar periksa dokter Hanung. Kamar periksa itu cukup luas dan
rapi. Sebuah tempat tidur pasien dengan penutup warna putih. Sebuah meja
dokter yang bersih. Dipojok ruang sebuah wastafel untuk mencuci tangan
setelah memeriksa pasien serta kotak yang berisi obat-obatan.
Sejenak dokter Hanung menatap pasiennya.
Tidak seperti biasa, pasiennya ini adalah seorang wanita berjilbab
rapat. Tidak ada yang kelihatan kecuali sepasang mata yang menyinarkan
wajah duka. Setelah wawancara sebentar (anamnese) dokter Hanung membuka
amplop hasil laboraturium yang dibawa pasiennya. Dokter Hanung terkejut
melihat hasil laboraturium. Rasanya adalah hal yang mustahil. Ada rasa
tidak percaya terhadap hal itu. Bagaimana mungkin orang berjilbab yang
tentu saja menjaga kehormatannya terkena penyakit itu, penyakit yang
hanya mengenai orang-orang yang sering berganti-ganti pasangan sexsual.
Dengan wajah tenang dokter Hanung melakukan anamnese lagi secara cermat.
+ “Saudari masih kuliah?”
- “Masih dok”
+ “Semester berapa?”
- “Semester tujuh dok!”
+ “Fakultasnya?”
- “Sospol”
+ “Jurusan komunikasi massa ya?”
- “Masih dok”
+ “Semester berapa?”
- “Semester tujuh dok!”
+ “Fakultasnya?”
- “Sospol”
+ “Jurusan komunikasi massa ya?”
Kali ini ganti pasien terakhir itu yang kaget. Dia mengangkat muka dan menatap dokter Hanung dari balik cadarnya.
- “Kok dokter tahu?”
+ “Aah,….tidak, hanya barangkali saja!”
+ “Aah,….tidak, hanya barangkali saja!”
Pembicaraan antara dokter Hanung dengan
pasien terakhirnya itu akhirnya seakan-akan beralih dari masalah
penyakit dan melebar kepada persoalan lain yang sama sekali tidak ada
hubungannya dengan masalah penyakit itu.
+ “Saudari memang penduduk Bandung ini atau dari luar kota?
Pasien terakhir itu nampaknya mulai
merasa tidak enak dengan pertanyaan dokter yang mulai menyimpang dari
masalah-masalah medis itu. Dengan jengkel dia menjawab.
- “Ada apa sih Dok…..kok tanya macam-macam?”
+ “Aah enggak,……..barangkali saja ada hubungannya dengan penyakit yang saudari derita!”
+ “Aah enggak,……..barangkali saja ada hubungannya dengan penyakit yang saudari derita!”
Pasien terakhir ini tampaknya semakin jengkel dengan pertanyaan dokter yang kesana-kemari itu. Dengan agak kesal dia menjawab.
- “Saya dari Pekalongan”
+ “Kost-nya?”
- “Wisma Fathimah, jalan Alex Kawilarang 63”
+ “Di kampus sering mengikuti kajian Islam yaa”
- “Ya,..kadang-kadang Dok!”
+ “Sering mengikuti kajian Bang Jalal?”
+ “Kost-nya?”
- “Wisma Fathimah, jalan Alex Kawilarang 63”
+ “Di kampus sering mengikuti kajian Islam yaa”
- “Ya,..kadang-kadang Dok!”
+ “Sering mengikuti kajian Bang Jalal?”
Sekali lagi pasien terakhir itu menatap dokter Hanung.
- “Bang Jalal siapa?”
Tanyanya dengan nada agak tinggi.
+ “Tentu saja Jalaluddin Rachmat! Di Bandung siapa lagi Bang Jalal selain dia….kalau di Yogya ada Bang Jalal Muksin”
- “Yaa,…….kadang-kadang saja saya ikut”
+ “Di Pekalongan,……(sambil seperti mengingat-ingat) kenal juga dengan Ahmad Baraqba?”
- “Yaa,…….kadang-kadang saja saya ikut”
+ “Di Pekalongan,……(sambil seperti mengingat-ingat) kenal juga dengan Ahmad Baraqba?”
Pasien terakhir itu tampak semakin
jengkel dengan pertanyaan-pertanyaan dokter yang semakin tidak mengarah
itu. Tetapi justru dokter Hanung manggut-manggut dengan keterkejutan
pasien terakhirnya. Dia menduga bahwa penelitian penyakit pasiennya itu
hampir selesai. Akhirnya dengan suara yang penuh dengan tekanan dokter
Hanung berkata.
- “Begini saudari, saya minta maaf
atas pertanyaan-pertanyaan saya yang ngelantur tadi, sekarang tolong
jawab pertanyaan saya dengan jujur demi untuk therapi penyakit yang
saudari derita,…………..”
Sekarang ganti pasien terakhir itu yang
mengangkat muka mendengar perkataan dokter Hanung. Dia seakan terbengong
dengan pertanyaan apa yang akan dilontarkan oleh dokter yang
memeriksanya kali ini.
+ “Sebenarnya saya amat terkejut
dengan penyakit yang saudari derita, rasanya tidak mungkin seorang ukhti
mengidap penyakit seperti ini”
- “Sakit apa dok?”
- “Sakit apa dok?”
Pasien terakhir itu memotong kalimat dokter Hanung yang belum selesai dengan amat Penasaran.
+ “Melihat keluhan yang anda
rasakan serta hasil laboraturium semuanya menyokong diagnosis gonorhe,
penyakit yang disebabkan hubungan seksual”
Seperti disambar geledek perempuan berjilbab biru dan berhijab itu, pasien terakhir dokter Hanung sore itu berteriak,
- “Tidak mungkin!!!”
Dia lantas terduduk dikursi lemah seakan
tak berdaya, mendengar keterangan dokter Hanung. Pandangan matanya
kosong seakan kehilangan harapan dan bahkan seperti tidak punya semangat
hidup lagi. Sementara itu pembantu dokter Hanung yang biasa mendaftar
pasien yang akan berobat tampak mondar-mandir seperti ingin tahu apa
yang terjadi. Tidak seperti biasanya dokter Hanung memeriksa pasien
begitu lama seperti sore ini. Barangkali karena dia pasien terakhir
sehingga merasa tidak terlalu tergesa-gesa maka pemeriksaannya berjalan
agak lama. Tetapi kemudian dia terkejut mendengar jeritan pasien
terakhir itu sehingga ia merasa ingin tahu apa yang terjadi.
Dokter Hanung dengan pengalamannya
selama praktek tidak terlalu kaget dengan reaksi pasien terakhirnya sore
itu. Hanya yang dia tidak habis pikir itu kenapa perempuan berjilbab
rapat itu mengidap penyakit yang biasa menjangkit perempuan-perempuan
rusak. Sudah dua pasien dia temukan akhir-akhir ini yang mengidap
penyakit yang sama dan uniknya sama-sama mengenakan busana muslimah.
Hanya yang pertama dahulu tidak mengenakan hijab penutup muka seperti
pasien yang terakhirnya sore itu. Dulu pasien yang pernah mengidap
penyakit yang seperti itu juga menggunakan pakaian muslimah, ketika
didesak akhirnya dia mengatakan bahwa dirinya biasa kawin mut’ah.
Pasiennya yang dahulu itu telah terlibat jauh dengan pola pikir dan
gerakan Syi’ah yang ada di Bandung ini. Dari pengalaman itu timbul
pikirannya menanyakan macam-macam hal mengenai tokoh-tokoh Syi’ah yang
pernah dia kenal di kota Kembang ini dan juga kebetulan mempunyai
seorang teman dari Pekalongan yang menceritakan perkembangan gerakan
syi’ah di Pekalongan. Beliau bermaksud untuk menyingkap tabir yang
menyelimuti rahasia perempuan yang ada didepannya sore itu.
+ “Bagaimana saudari… penyakit yang
anda derita ini tidak mengenai kecuali orang-orang yang biasa
berganti-ganti pasangan seks. Rasanya ini tidak mungkin terjadi pada
seorang muslimah seperti anda. Kalau itu masa lalu anda baiklah saya
memahami dan semoga dapat sembuh, bertaubatlah kepada Allah,….atau
mungkin ada kemungkinan yang lain,…?”
Pertanyaan dokter Hanung itu telah
membuat pasien terakhirnya mengangkat muka sejenak, lalu menunduk lagi
seperti tidak memiliki cukup kekuatan lagi untuk berkata-kata. Dokter
Hanung dengan sabar menanti jawaban pasien terakhirnya sore itu. Beliau
beranjak dari kursi memanggil pembantunya agar mengemasi peralatan untuk
segera tutup setelah selesai menangani pasien terakhirnya itu.
- “Saya tidak percaya dengan perkataan dokter tentang penyakit saya !” Katanya terbata-bata
+ “Terserah saudari,…….tetapi toh anda tidak dapat memungkiri kenyataan yang anda sandang-kan?”
- “Tetapi bagaimana mungkin mengidap penyakit laknat tersebut sedangkan saya selalu berada didalam suasana hidup yang taat kepada hukum Allah?”
+ “Sayapun berprasangka baik demikian terhadap diri anda,….tetapi kenyataan yang anda hadapi itu tidak dapat dipungkiri?”
+ “Terserah saudari,…….tetapi toh anda tidak dapat memungkiri kenyataan yang anda sandang-kan?”
- “Tetapi bagaimana mungkin mengidap penyakit laknat tersebut sedangkan saya selalu berada didalam suasana hidup yang taat kepada hukum Allah?”
+ “Sayapun berprasangka baik demikian terhadap diri anda,….tetapi kenyataan yang anda hadapi itu tidak dapat dipungkiri?”
Sejenak dokter dan pasien itu terdiam.
Ruang periksa itu sepi. Kemudian terdengar suara dari pintu yang dibuka
pembantu dokter yang mengemasi barang-barang peralatan administrasi
pendaftaran pasien. Pembantu dokter itu lantas keluar lagi dengan wajah
penuh tanda tanya mengetahui dokter Hanung yang menunggui pasiennya itu.
+ “Cobalah introspeksi diri lagi,
barangkali ada yang salah,…….. sebab secara medis tidak mungkin
seseorang mengidap penyakit ini kecuali dari sebab tersebut”
- “Tidak dokter,…….selama ini saya benar-benar hidup secara baik menurut tuntunan syari’at Islam,…..saya tetap tidak percaya dengan analisa dokter”
Dokter Hanung mengerutkan keningnya
mendengar jawaban pasiennya. Dia tidak merasa sakit hati dengan
perkataan pasiennya yang berulang kali mengatakan tidak percaya dengan
analisisnya. Untuk apa marah kepada orang sakit. Paling juga hanya
menambah parah penyakitnya saja, dan lagi analisanya toh tidak menjadi
salah hanya karena disalahkan oleh pasiennya. Dengan penuh kearifan
dokter menghela nafas dan berlalu pulang.- “Tidak dokter,…….selama ini saya benar-benar hidup secara baik menurut tuntunan syari’at Islam,…..saya tetap tidak percaya dengan analisa dokter”
0 comments:
Post a Comment